PUTRI KECIL PEMBERANI
Pada suatu malam, diatas kamarku terdengar
suara gemuruh hujan. Aku masih tertidur saat itu dan dapat merasakan dinginnya
malam, tiba tiba suara petir berteriak kencang dan aku terkejut bangkit dari
tidurku sambil berteriak histeris. Tak ada seorang pun dikamarku, aku mengambil
boneka beruang kecilku menyeretnya dari ranjang dan berlari membuka pintuku.
Aku berteriak “ Ibu” berulang-ulang, diikuti langkah kakiku yang cepat hingga
tiba dikamar ibuku sejauh 30 kaki dari kamarku.
Tanpa ragu-ragu aku mendombrak pintu itu, aku
tidak peduli apa ibu sudah tidur atau belum? Tapi aku ketakutan. Aku mencoba mengatur nafasku saat masuk kedalam ruangan kamar besar itu, ibu
sedang terduduk di meja sambil menghitung segempok uang ditangannya.
Disampingnya terdapat lampu minyak , ia melihatku sesaat kemudian kembali sibuk
menghitung kembali uang yang sangat banyak itu.
“ Ibu..” teriakku sambil mendekatinya
“ Ya. Ya.. ibu tau kamu ketakutan suara
petir.. ya sudah tidur di ranjang ibu sana..!! ibu sedang sibuk sekarang?”
Tanpa banyak bicara aku menuruti kata ibu, aku
memeluk boneka beruangku sambil memperhatikan apa yang ibu lakukan. Ibu
tersenyum begitu lebar dan bicara padaku.
“ Ayahmu pulang dengan sekoper uang dan ibu
mengambilnya. Ia tidak akan pernah tau.. hehehe, aku harap kamu tidak
memberitahu ayahmu.Mengerti?” kata ibu padaku.
Aku hanya menganggukkan kepalaku, aku bahkan
telah melupakan ketakutan akan suara petir yang membuatku terbangun karena terkesima melihat apa yang ibu lakukan,
terpikir dihatiku
“ Untuk apa ibu mengambil uang itu secara
diam-diam? Kenapa ia tidak meminta saja pada ayah?”
Saat aku berpikir akan jawaban, ibu sudah usai
mengambil uang semau hatinya. Kemudian ia menyimpan koper itu kembali di
lemari. Ia mendekatiku kemudian tidur disampingku.
“ Besok kamu mau ikut ibu kerumah nenek?”
“ Boleh..”
“ Kalau begitu lekas tidur, nanti nenek pasti
akan memberikan kamu banyak permen.. “
“ Ibu dimana ayah?”
“ Tidak tau, jangan banyak tanya.. lekas
tidur, atau ibu akan menyuruh kamu tidur sendirian di kamar kamu!”
Begitulah sikap ibuku, aku tidak terlalu dekat
dengannya. Aku lebih dekat dengan ayahku, saat ini aku berusia 10 tahun, aku bernama Oei Hui lan. Aku adalah
anak kedua dari pernikahan ayahku bernama Oei tiong ham dengan ibuku, Goei bing
nio. Aku memiliki seorang kakak
perempuan yang lebih tua tiga tahun dariku bernama Oei Tjong lan. Ayahku Oei
tiong ham adalah seorang pengusaha sukses yang bergerak di bidang bisnis gula,
kopra dan candu.
Kami sekeluarga tinggal di Semarang, Jawa
tengah. Aku lahir pada tahun 1889 dimana pada saat itu negeriku bernama
Hindia-Belanda dan dipimpin oleh seorang ratu dari Belanda bernama Wihelmina,
keluarga kami sangat kaya bahkan rumah kami sangat besar diatas tanah seluas 9,2
hektar. Karena terlalu besar aku membutuhkan seorang pembantu untuk mengantarku
berkeliling agar tidak tersesat. Ayahku adalah seorang pria keturunan daratan
Cina yang cukup diseganin oleh penduduk sekitarnya, ia menjabat sebagai Mayor
atau setingkat Letnan diantara komunitasnya. Ia juga pandai bergaul dan dekat
dengan pejabat Belanda sehingga menjadi orang terpandang dan di hormati semua
kelangan.
Ayahku jarang sekali pulang kerumah karena
perkerjaannya yang padat, aku selalu berada dirumah seorang diri bersama
pembantu dan perawatku. Kakakku Tjong lan selalu menganggapku anak kecil, ia
lebih sering pergi bersama ibuku setiap hari untuk belanja atau melihat
pertunjukkan opera. Aku tidak terlalu menyukai hobby mereka yang seperti wanita
umunnya, aku lebih menyukai bermain bersama anjing-anjingku atau beradu lari
dengan perawatku. Aku juga tidak bersekolah di sekolah umum, karena ayahku
melarang. Untuk masalah pendidikan aku mendapatkan guru les pribadi yang padat
setiap harinya.
Guru-guru itu tinggal diantara tanah kami,
mereka berasal dari Eropa, Australia dan Jayakarta( Jakarta). Mereka
mengajarkan aku bahasa English, Belanda, Melayu dan Francis. Itu semua atas
kehendak ibu yang menginginkan aku menjadi wanita berpendidikan. Padahal aku
sering iri melihat kerumunan orang orang belanda atau penduduk pribumi yang keluar dari pintu sekolahnya. Tjong lan
kakakku juga tidak bersekolah ditempat umum, aku pikir bahkan dia memiliki
aktifitas pendidikan yang lebih banyak daripada aku. Wajahnya cantik dan lebih
pandai daripada aku tapi ia pendiam dan tidak suka bergaul seperti aku.
Keesokan harinya, ibu menepati janjinya untuk mengajakku ke rumah
nenek. Aku baru menyadari apa yang ibu lakukan dengan mencuri uang ayah
diperuntukan bagi keluarganya. Ibu adalah putri terakhir di antara saudaranya
yang berjumlah 16 orang. Ia paling cantik diantara kakak-kakaknya, nenek dari
ayahku menikahkan ibu dengan ayah pada saat ia berusia 16 tahun dan ayahku 18
tahun. Perjodohkan mereka aku pikir dilandaskan tanpa cinta oleh karena itu
tidak heran aku tidak merasa kedua orangtuaku bahagia.
Ibu memberikan segempok uang yang diikat
dengan kain kepada nenek yang begitu gembira menerimanya. Nenek kemudian
mendekatiku, ia mencium pipiku. Aku mencoba menghindar tapi sia-sia, aku sedikit
jijik dengan mulutnya karena habis mengunyah sirih, tapi aku menjadi gembira
ketika ia memberikan aku permen seperti yang ibu katakan semalam. Usai pergi
mengujungi nenek, ibu pulang bersamaku dengan kereta kuda dengan pengawalan
ketat.
Pada saat itu keluarga kami adalah keluarga
terpandang, untuk menambah kekaguman orang lain pada kami. Ibu sengaja membawa
pembantu dan pengawal yang ketat, bukan hanya itu saja. Ia juga membawa kereta
kuda tambahan yang khusus digunakan untuk membawa hasil belajaannya. Dapat
dibayangkan bertapa bahagianya pemilik toko yang kami kunjungi karena ibu tidak
segan-segan membolong apa saja yang ia suka, aku sempat berpikir apa ibu
memakai semua barang yang ia beli.
Kami berkunjung menyaksikan opera Cina, aku
tidak suka melihat aksi drama klasik yang wanitanya terlihat menyeramkan dengan
dandanan putih seperti mayat. Ibu terus bertepuk tangan disampingku,
disampingnya banyak sekali orang-orang kaya, tapi ibuku terlihat lebih menonjol
dari mereka. Usai opera Cina itu, semua pemain berbaris menunduk memberikan
penghormatan kepada ibuku lalu ibu mendekati mereka sambil memberikan uang tips
yang cukup besar. Tidak heran mereka begitu bersemangat bila ibuku hadir dalam
opera itu.
Aku tidak heran bila melihat sifat ibuku yang
bolos dan bersikap bak dermawan. Ayahku
adalah orang kaya dan ibuku tidak ingin menyia-yiakan kesempatan itu, ibu
selalu berusaha menyenangkan dirinya untuk menutupi kegundahan hatinya karena
ia ditakdirkan untuk tidak melahirkan anak
laki-laki. Di kala itu, anak laki-laki melambangkan kehebatan dalam
sebuah keluarga, ibuku pasti sangat stress mengingat ayah sangat berharap
memiliki putra agar kelak bisa menjalankan usaha bisnisnya.
Tapi mungkin ibuku terlalu panik hingga
menjadi berlebihan, mereka tidak cocok dari shio. Ayahku bershio harimau sedangkan ibuku Naga. Mereka sama-sama keras
kepala dan mau menang sendiri, tapi tidak pernah terpikir oleh ayahku untuk
menceraikan istri yang tidak memberikan anak putra, ia bahagia melahirkan aku
dan kakakku. Terutama aku, ayah sangat mengistimewakan aku. Sejak aku lahir
bintangnya terang dan terus bertambah kaya. Oleh karena itu ia sangat dekat
denganku dan akan memenuhi apapun mauku.
Ibu sangat mencintai statusnya sebagai istri
ayah, ia tidak peduli keretakan rumah tangganya. Tjong lan kakakku bertubuh
tinggi dan berparas cantik dengan rambut lulus panjang hitam terhelai rapi
berbanding terbalik dengan aku yang keriting. Tjong lan sangat pendiam dan
terkesan formal sedangkan aku sangat bawel dan tidak suka terhadap aturan. Ibu
sering menjewelku ketika melihat aku merusak satu persatu barangnya dikamar.
Terlebih aku sering membuang emas dan intan yang dikenakan di leherku. Intan
itu sangat menganggu pergerakanku, ibu begitu marah setiap bermain aku selalu
kehilangan barang-barang berharga hingga ia menyadari disekitar dadaku terdapat
luka Karena bandulan intan itu, sejak saat itu ia tidak memberikankan aku intan
tertapi emas yang banyak di leherku untuk menunjukkan statusku sebagai putri
orang kaya dan terpandang.
Pernah suatu ketika, saat aku bosan. Aku
membawa anjing burdogku berkeliling rumah untuk bermain, aku melihat kerumunan
koki dirumahku yang sedang mempersiapkan makan malam di keluarga kami. Jangan
heran melihat jumlah mereka, selera kuliner ayahku sangat tinggi. Dirumah kami
terdapat koki yang diimpor langsung dari Barat, Cina dan India. Jumlah mereka berkisar 50 orang lebih dan
selalu berusaha untuk menyiapkan hidangan terbaik untuk kami. Burdog anjingku
tiba tiba berlari karena mengendus bau makanan ke ruangan dapur koki kami. Aku
berusaha menangkapnya tapi sia-sia, ketika ia kembali dimulutnya terdapat
sepotong daging sapi impor Australia.
Koki kami berdatangan mendekatiku, mereka
terlihat rusuh dan kotor karena dapur itu menjadi berantakan karena berusaha menangkap
Buldog. Ketika sadar itu anjingku, mereka hanya terdiam. Salah satu koki itu
melaporkan tingkah lakuku kepada Ibu, ibu sangat marah kemudian sejak saat itu
Buldog disimpan dalam kandang bersama puluhan hewan impor dari Afrika dan Asia
lainnya di kebun binatang pribadi rumah kami.
Aku terkadang merasa iri dengan Tjong lan yang
lebih diistemewakan oleh ibuku, Tjong lan sering berkuda disekitar lapangan
rumah kami. Aku hanya boleh mengintip atau menunggang bersama joki kami,
sedangkan Tjong lan sudah mahir menunggang sendiri. Aku meminta ibu untuk
menunggang sendiri dan ia melarang karena kakiku belum sampai untuk menginjak
pedal tunggangan kuda. Tjong lang menatapku dan berkata
“ Makanya kamu harus sering-sering minum susu
biar kamu cepat tinggi, aku tau kamu sering membuang susu yang diharuskan kamu
untuk minum ke Toilet. Dan itulah mengapa tubuhmu lebih pendek dari aku !” ucap
Hui lan padaku
“ Terang saja kamu lebih tinggi karena kamu
lahir lebih dulu dari aku, nanti juga aku setinggi kamu”
“ Ya terserahlah… aku mau berkuda dulu, males
melayani anak kecil seperti kami.”
Aku menjadi emosi kemudian mengeluarkan pensil
di tas kecilku dan menusukkan ke pantat kuda itu yang langsung histeris
berteriak dan melompat-lompat. Tjong lan terlihat ketakutan hingga ia kemudian
terjatuh ke tanah dimana tanah itu terdapat lumpur yang tercampur dengan
kotoran kuda. Aku tertawa melihat kejadian itu yang aku anggap lucu. Tjong lang
berteriak padaku sambil menghapus kotoran yang menempel di wajahnya.
“ Aku akan melaporkan apa yang kamu lakukan
pada Ibu?”
“ Aku tidak takut. Lebih baik aku pendek tapi
berani tidak seperti kamu tinggi tapi penakut!”
Aku berlari sambil melompat kegilangan, memang
tubuhku hanya setinggi 120 Cm sedangkan Tjong lan 162 Cm jauh diatasku tapi aku
menang dalam keberanian untuk berbuat onar. Saat aku pulang beberapa saat
kemudian, Tjong lan sudah muncul bersama ibu. Aku pikir mereka akan langsung
menangkapku dan membuatku menjadi bulan-bulanan ternyata aku salah. Ayah muncul
secara tiba-tiba dan membawakan aku sebuah hadiah Kuda Poni dari Eropa. Aku begitu bahagia memeluk hadiah itu dan
Tjong lan yang sangat takut pada ayahku tidak jadi menindasku disamping ibu.
Tanpa aku sadari bahwa ayahku adalah
pelindungku yang sangat berwibawa tapi selang tahun berjalan aku mulai
menyadari bahwa kenakalan aku itu berlebihan, terlebih sejak aku dan Tjong lan
semakin dewasa dan mulai menyadari kami bukanlah satu satunya anak diantara
keluarga besar kami. Aku pun mulai sadar mengapa ibu sering bertengkar dengan
ayah tanpa pernah bosan. Tjong lan pernah berbisik padaku saat kami bermain
boneka di danau buatan ayah di rumah. Danau itu dipenuhi dengan ikan mas
berwarna warni dan terdapat rumah kecil ditengah-tengahnya dibatasi sebuah
jembatan kecil.
“ Kamu tau Hui lan. Ternyata kita tidak hanya
bersaudara berdua saja? ”
“ Maksud kamu..?”
“ Iya, kita tidak bersaudara berdua saja. Tapi
masih ada adik tiri kita yang jumlahnya setara dengan jumlah pelayan kamu.
” Saat itu jumlah pelayanku 11 orang.
“ Ah, kamu bohong. Kalau memang begitu kenapa
cuma kita saja yang menjadi anak-anak di rumah ini! ”
“ Dasar bodoh, memangnya kamu sering pergi
sama ayah tidak pernah tau kemana kalian?”
“ Seingat aku ke kantor ayah..!! ”
“ Selain itu..? ” tanya Tjong lan padaku.
“ Ke rumah bibi yang baik hati dan sering
memberikan aku hadiah..!”
Tjong lan meletakan bonekanya kemudian
berjalan dan memandang danau yang sejuk dipenuhi ikan mas yang terus
berputar-putar. Aku mendekati dia.
“ Maksud kamu bibi itu saudara kita..?”
“ Aku heran sama kamu, kenapa ibu melahirkan
anak bodoh seperti kamu. Dia itu ibu tiri kita? Memangnya kamu tidak pernah
melihat anak-anak mereka..!”
“ Tjong Nio..?”
“ Ya dia itu adik tiri kita dari bibi Tei
khiom nio..!”
Aku mulai menyadari banya hal dan berpikir
anak-anak lain bibiku
“ Lalu Tjong hauw anak bibi Hwa nio dan Tjong
tee anak bibi Tjik Nio juga adik-adik kita?”
Tjong lan menatapku tajam
“ Bukan hanya itu, mungkin akan bertambah
karena ayah kita suka mencari istri dan wanita. Makanya aku tidak mau dekat
dengan ayah. Ia hanya bisa membuat ibu menangis..”
Aku tersentak dan seolah tak percaya apa yang
dikatakan oleh kakakku, ayah memang sering mengajakku berkunjung ke rumah
bibi-bibi yang baik hati itu, tapi tidak pernah terpikir olehku mereka adalah
ibu tiriku dan anak-anak mereka adalah adik tiriku. Mereka selalu bersikap baik
padaku, bahkan aku sering bermain bersama anak-anak mereka. Apakah mereka hanya
mencari perhatian ayah oleh karena itu bersikap baik padaku.
“ Aku akan tanya pada ayah tentang ini..”
tegasku
“ Silakan saja. Tapi jangan bilang aku yang
katakan. Kalau kamu berani bilang, aku tidak akan pernah cerita rahasia apapun
padamu.!”
Aku mengambil boneka berbieku dan berlari
meninggalkan Tjong lan di rumah danau itu. aku mulai mengerti mengapa ibu
sering marah padaku ketika aku membicarakan bibi-bibi yang baik hati itu. ia
mungkin merasa risih dan sebal pada mereka karena ibu-ibu tiriku yang boleh
dikatakan gundik terus melahirkan banyak anak laki-laki dan itu menekan batin
ibuku yang kekurangan. Di kala itu,
menurut tradisi seorang pria yang kaya raya dan mampu berhak untuk memperbanyak
istri untuk menambah anak yang dianggap membawa rejeki.
Ayahku sama seperti kakekku Oei tjien sien, di
masa akhir tuanya, kakekku juga memiliki dua gundik yang ia simpan diatas tanah
peristirahatannya. Yang paling menyedihkan dari semua ini adalah, setiap gundik
yang sadar akan ditinggalkan oleh suaminya diharuskan membuat rajutan ungu
kelambu yang akan diberikan kepada gundik lainnya. Artinya ia mengizinkan untuk
memberikan suami pada istri lainnya. Ibukku tidak akan sudi melakukan hal
seperti ini. Tapi kakekku tidak berlaku seperti itu, ia memang memiliki dua
gundik yang ia simpan tapi ia tidak menyuruh nenekku untuk membuat rajutan
kelambu.
Ia tidak pernah mengizinkan nenekku untuk
berkunjung ke rumah peristirahatannya. Ayah tau tingkah laku kakek tapi tidak
peduli. Pada saat itu sebagai pria memang wajar, ketika kakek meninggal pada
tahun 1990 dan nenekku dua tahun lebih cepat. Ayah mendapatkan warisan cukup
besar dari kakekku yang memang sudah kaya saat itu. tapi ayah menolak warisan
itu, karena ia sudah kaya dan memberikan warisan kakek kepada adik adiknya
secara merata. Tapi ayahku tidak menyukai gundik-gundik kakek dengan tega ia
mengusir gundik itu dari rumah ayah.
Gundik pertama yang cantik dan berkulit putih
dinikahkan kepada pelayan kakek sedangkan yang berkulit hitam di usir dengan
uang yang cukup. Ayah tidak menganggap anak-anak yang dilahirkan oleh gundik
kakek sebagai saudaranya. Tapi kakek mewariskan harta yang cukup untuk semua
anak-anaknya bahkan mendermakan sebagian hartanya untuk membangung Mesjid,
Gereja dan Vihara serta keturunan yang bermarga Oei kepada yang tidak mampu.
Tapi ayah tidak pernah belajar dari sejarah
suram akhir gundik-gundik kakek dan aku tidak dapat menyalahkannya karena pada
saat itu ibu memang tidak melahirkan putra baginya. Bila aku pikir anak putra bukanlah tujuan
pertama ayah, ia lebih berpikir bahwa pria yang memiliki banyak anak akan
mempunyai rejeki yang lebih besar. Pada saat makan malam bersama, ayah duduk
dengan baju kain sutra putihnya yang terlihat mewah. Ia mengambilkan aku
sepotong daging ayam empuk sambil berkata
“ Makan ini biar cepat besar dan setinggi
Tjong lan ”
Aku hanya tersenyum dan ibu berserta Tjong lan
memperhatikan itu. aku mulai tidak tahan untuk bertanya dan otakku sudah penuh
dengan ketidaksabaran.
“ Ayah. Benarkan aku memiliki saudara selain
Tjong lan?”
Ayah terdiam dan berhenti menguyah nasi
dimulutnya dan minum sejenak teh. Ibu dan Tjong lan terkejut dengan apa yang
kupertanyakan.
“ Siapa yang bilang begitu?” tanya ayah.
Aku melihat Tjong lan melototku agar tidak
membuka mulut.
“ Aku hanya bertanya dan tidak ada yang bilang
padaku. Apakah itu benar?”
Dengan pandai dan bijaksana ayah berkata
padaku
“ Bukannya memiliki saudara yang banyak akan
membuat kamu lebih banyak teman bermain..?”
Aku terdiam dan berpikir ada benarnya juga
“ Iya ya.. benar juga.. tapi kenapa mereka
tidak tinggal bersama kita?”
Ibu mulai tidak tahan berada di meja makan. Ia
meletakkan sumpitnya dan pergi begitu saja dengan wajah emosi. Tjong lan
ketakutan seorang diri di meja makan. Aku melihatnya bergemetar. Lalu ayah
menjawab.
“ Nanti kalau kamu mau kita bisa kesana untuk
bermain. Mereka tidak perlu untuk kesini karena mereka punya rumah yang cukup
besar. Kalau kamu mau, kamu bisa ajak Tjong lan untuk berkunjung kerumah
saudara-saudara kalian, bukan begitu Tjong lan?” tanya ayah pada Tjong lan
“ Iya..” Ucap Tjong lan gugup.
Makan malam itu berakhir dengan sebuah
kebenaran yang aku ketahui sebagai arti besarnya keluarga kami. Pada akhirnya
seiring waktu ayah terus menambah gundiknya menjadi tujuh orang dan terus
menambah adik tiriku menjadi 40 orang lebih. Itu hanya sebagian yang ia akui
sebagai anak dengan ciri-ciri yang menjadi ketetapannya. Bila anak itu terlahir
dengan jari kelingking bengkok maka ia adalah keturunan ayah tapi bila tidak ia
bukanlah keturunan ayah. Tapi yang mengherankan
jari kelingkingku tidak bengkok.
Ayah tidak mungkin meragukan aku adalah
anaknya, tidak mungkin ibuku serong dengan laki-laki lain. Mungkin masih banyak
saudara-saudaraku yang terlahir tanpa di akui mengingat ayahku adalah penggila
wanita dan kejantanannya di akui oleh setiap kalangan yang sadar siapa dia.
Hartanya yang berlimpah menjadi magnet bagi siapapun yang ingin mencari
kesejahteraan. Tapi dalam urusan cinta ayah tidak selalu mengunakan hartanya
bahkan dengan tipuan kepada gadis-gadis yang ia kehendaki dengan berbagai cara.
Dan ketika sadar ia tertipu oleh ayah, ia
tidak akan bisa melepaskan statusnya sebagai gundik ayah. Karena bagi wanita di
kala itu, ketika ia sudah menikah dengan seorang pria akan menjadi hina bila ia
kembali kepada orang tuanya seorang diri. Ia akan dipergunjingkan oleh
tetangganya sebagai wanita murahan bahkan lebih parahnya dikucilkan hingga
bunuh diri. Diantara gundik-gundik ayah, Bibi Hwa nio ibu dari Tjong hauw
adalah gundik yang ditipu ayah.
Ayah begitu penasaran dengannya namun sulit
mendapatkan gadis itu, bibi Hwa nio adalah gadis cantik yang begitu tersohor.
Ketika ayah mencoba melamarnya ia dengan arogan berkata hanya mau menikah
dengan status sebagai istri sah, ayah tidak kehilangan akal ia pun menuruti apa
mau bibi Hwa nio dan tentu saja semua itu hanya sandiwara. Ketika pernikahan
berlangsung tidak ada saksi dan ahlinya dan kalaupun ada itu semua hanya orang
bayaran ayah. Tapi pada akhirnya Bibi Hwa nio pun tidak punya pilihan untuk
menjalankan takdirnya sebagai istri simpanan ayah.
Ibu menyadari bahwa anak anak dari
gundik-gundik ayah akan semakin besar pada saatnya dan akan membuatnya menjadi
risih dan kecewa. ia tidak memiliki cara untuk melepas penderitaan itu selain
dengan menghambur-hamburkan uang milik ayah. Ayah tidak pernah menolak untuk
memberikan apa yang ibu mau dan ia juga tidak akan pernah berpikir bercerai
karena pada saat itu perceraian hanya terjadi atas kesepakatan orang tua lewat
musyawarah keluarga.
Aku tumbuh semakin besar dan melewatkan masa
masa indahku di istana rumah kami. Nona Jones dari Australia adalah guru bahasa
Englishku yang terbaik. Ia selalu bercerita tentang dongeng-dongeng putri
kerajaan yang begitu indah di benakku. Bahkan kisah yang paling aku sukai
adalah kisah pesta istana yang lengkap dengan dansa romantic antara pangeran
dan putri. Itu menjadi inspirasiku untuk membuat istana milik ayahku kelak
menjadi tempat romantis.
Aku bercerita pada ayah tentang pesta itu,
ayah terlihat antusias dan berjanji untuk mewujubkan impian itu asal aku mampu
bicara English dengan baik. Aku pun menjadi tekun untuk terus belajar bersama
nona Jones. Aku mulai rajin membaca buku bahasa English yang membantuku semakin
cepat untuk belajar. Ketika aku memamerkan pidato bahasa Englishku kepada ayah,
ia begitu bangga walau aku tau ia tidak mengerti apa yang aku ucapkan
Dan ia pun berjanji membuatkan pesta itu tepat
di hari ulang tahunku ketiga belas nanti. Sebuah pesta impian yang pasti
menjadi tempat mimpiku paling indah. Pangeran tampan, tarian-tarian romantic
dan tentu saja dengan makanan berlimpah yang siap memberikan hari itu menjadi
hari terbaik dalam hidupku.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar